Kikuk Berislam

3 minute read
0



Jargon demokrasi dimainkan oleh mereka. Banyak kita yang terpengaruh atau masuk jebakan dan menjadikan kita kikuk mengaku Islam, mempraktekkan keislaman kita dan membicarakan keislaman kita di ruang publik. Sementara mereka bebas membuat pernyataan bahwa Islam tidak demokratis dan sebagainya. Saya jadi paham kenapa Munarman yang dulu berada di lingkungan liberal berubah jadi 'radikal'. Ia telah menemukan bagaimana pintarnya media memainkan isu demokrasi yang memperhadapkannya dengan Islam. Ia mungkin sudah muak seperti Cak Nun.

Terkutip keluhan Cak Nun: "Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan...jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia"

Tapi bagi segelintir tertentu, kecurigaan terhadap fenomena anak muda berhijrah, misalnya, masih jadi isu seksi untuk dijuliti. Setara Institut adalah contoh lembaga kajian yang memang agak sinis pada fenomena ini. maharddhika, seorang penulis sosial dan sastra pernah menyinggung soal ini.

Ia menulis di Youth Proactive, "Saya menduga anak muda telah lama menjadi sasaran fundamentalisme, sebagaimana ia menjadi sasaran dan perebutan -isme lain. Setara Institute (2016) merilis survei toleransi siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung Raya. Survei dilakukan pada responden berusia 15-19 tahun dengan latar belakang agama 88% Islam.

Hasilnya, 97,1% menjawab setuju terhadap pertanyaan apakah agama yang Anda anut adalah yang paling benar. Pada pertanyaan lain soal sikap terhadap perbedaan cara beribadah orang lain, 69,6% responden menganggap mereka tidak benar atau menyimpang.

Selain dua pertanyaan tersebut, Setara Institute mengajukan 16 pertanyaan lain yang dipilih pada tiga dimensi: sosial, politik, dan ideologis. Setara Institute memberikan skor pada setiap jawaban responden untuk memperoleh status toleransi setiap responden.

Ada 38,4% responden bersikap intoleran. Rinciannya, 35,7% responden bersifat intoleran pasif, 2,4% bersifat intoleran aktif, dan 0,3% telah sampai pada taraf berpotensi jadi teroris.

Intoleransi pasif lebih mendekati istilah puritan yang lebih berfokus pada pandangan yang mengklaim bahwa keyakinan yang dianut adalah yang paling benar. Pada intoleransi pasif, ekspresi ketidaksetujuan tidak ditunjukkan dengan tindakan kekerasan. Sementara, intoleransi aktif selangkah lebih ekpresif dari intoleransi pasif. Selain meyakini bahwa dirinya yang paling benar, intoleransi aktif juga memungkinkan pilihan aksi kekerasan sebagai cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuannya.

Angka ini menunjukkan bahwa secara kultural anak muda ditanami benih intoleransi dan fundamentalisme agama yang berpotensi jadi kekerasan, terorisme, dan radikalisme.
Hijrah dan dakwah kekinian

Kita tak lagi asing dengan seorang sarjana muda jebolan kampus terkemuka di Bandung yang selain jago main skateboard juga jadi imam masjid. Ia juga penghafal Quran yang fasih dengan langgam merdu yang bikin jemaahnya (terutama akhwat-akhwat) meleleh dan pengikutnya di Instagram dan Youtube melonjak.

Kita juga tentu tahu dengan tren seleb yang tobat dan memutuskan untuk mendalami agama. Mereka mengubah penampilan dengan memanjangkan janggut dan mencingkrangkan celana. Kalau kita telusuri, seleb-seleb itu juga berkumpul membuat majelis, rutin menggelar pengajian di bilangan Jakarta Selatan, serta menyasar anak muda dengan materi dakwah yang dikemas dengan gaya kekinian pula. Seleb-seleb ini jadi panutan anak muda untuk turut berhijrah.

Saya tak bisa tidak mengingat diskusi soal meningkatnya fundamentalisme agama dalam musik kontemporer Indonesia—dunia yang dekat dengan anak muda. Diskusi setahun lalu di Ciputat itu mendedah fenomena yang kurang lebih sama: mengapa banyak musisi yang tobat, hijrah, dan fasih berbicara agama. Wendi Putranto, wartawan Rolling Stone Indonesia, memantik diskusi itu dengan tulisan “Gerakan Indie Tobat” yang juga secara lebih panjang ia bahas di Rolling Stone Indonesia edisi Maret 2015.

Ia bercerita tentang keluarnya Reza Noah yang kemudian masuk ke Jamaah Tabligh dan melakukan khuruj—berpindah dari masjid ke masjid. Gerakan “metal satu jari” muncul dan diduga merupakan propaganda kaum fundamentalis Islam melalui musik metal. Alfi Chaniago, personil The Upstairs juga tobat—cabut dari band yang dimanajeri Wendi itu. Ia bergabung dengan majelis The Strangers Al-Ghuroba yang giat berdakwah dengan gaya anak muda yang trendi—yang kekinian.

Wendi yakin bahwa kepergian Alfi untuk bergabung dengan The Strangers dan kemudian diikuti oleh kru serta drummer The Upstairs adalah sebuah bagian kecil dari desain besar sebuah gerakan. Yuka Dian Narendra, kandidat doktor di Universitas Indonesia, juga punya kesimpulan serupa. Ia berargumen bahwa fenomena pertobatan yang sejatinya personal menjadi gerakan terorganisasi ini telah menjadi gerakan sosial baru dengan menggunakan subkultur kaum muda sebagai kendaraannya.


dari facebook  ekasatria.taroesmantini - Selasa 16 maret 2011 pukul 23:47  
Artikel ini diperbarui Rabu 6 Mei 2020 pukul 16.23 WIB.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)