Sukses di Usia Tua. Bisa?

0



USIA saya saat ini setara usia Charles Darwin ketika pada 1859 ia merilis riset yang fenomenal: On the Origin of Species” dan jadi perbincangan sampai kini. Ia sukses di usia yang memang sudah melewati belia. Sementara saya masih bebini-bebini, eh, begini begini saja. Bahkan belum punya satu buku pun.

Di banyak artikel psikologi populer, buku-buku motivasi, dan entrepreneurship, selalu ditekankan bahwa usia muda adalah usia di mana sukses diraup. Sekarang kita bisa lihat contohnya, tuan pemilik Facebook ini, dan banyak lagi nama-nama, rerata melejit di usia muda. Saya di usia mereka masih planga plongo saja, asik dengan halusinasi.

Jangan coba bandingkan dengan Supriyadi pemimpin tentara PETA yang memberontak pada Jepang di Blitar dulu. Ia didapuk Soekarno menjadi  Menteri Keamanan Rakyat sekaligus Panglima Militer pada 6 Oktober 1945, dalam usia 22 tahun. Saya di usia itu masih masih jadi pembelajar. Belum apa-apa.

Yang lain, misalnya, Wahid Hasyim, dilantik sebagai Menteri Agama pada 1945 di usianya yang baru 31 tahun.  Saya? Di usia segitu baru mengucapkan ijab kabul. Dan akan memulai menempuh hidup baru.

Agak jauh lagi, fakta menunjukkan bahwa beberapa pengusaha yang ada di Silicon Valley sudah cespleng di usia darah muda.

Namun, saya gak mau merasa bersalah dengan fakta bahwa saya belum sukses di usia muda.  Saya agak lega ketika saya googling di Yahoo, dan ketemu data, di mana Biro Sensus AS memeriksa bahwa semua bisnis yang diluncurkan di AS antara 2007 dan 2014, yang mencakup 2,7 juta pendiri jauh lebih sukses di usia baya bukan anak muda. Untuk 0,1 persen teratas dari bisnis baru yang tumbuh paling cepat di AS, usia rata-rata pendiri di tahun pertama adalah 45 tahun.

Berdasarkan perkiraan peneliti, seorang pendiri berusia 50 tahun memiliki kemungkinan 1,8 kali lebih besar daripada pendiri berusia 30 tahun untuk menciptakan salah satu perusahaan dengan pertumbuhan tertinggi. Pendiri di awal 20-an memiliki kemungkinan terendah untuk membangun perusahaan dengan pertumbuhan teratas.

Karena informasi itu sedikit berpihak pada saya, tentu saya amini dan setujui. Saya mencari pembenaran untuk kondisi diri sendiri. Dan, saya akui, kadang saya menyandarkan ini pada tausiyah yang cukup melegakan. Bahwa sukses itu ukurannya macam-macam, materi dan non materi, nama besar dan pengakuan, jasad kasar dan ruhiyah. Di usia saya yang sekarang, berkhidmat pada kesalehan spritual jauh lebih penting ketimbang memikirkan kenapa saya di usia segini belum juga mampu punya mobil, mobil murah saja buat ngajak anak istri raun-raun saban akhir pekan.

Insaaap. woiii.....! Ingat umuur...! Begitu dengusan suara dari dalam jiwa. 
Okelah, jalani saja hidup ini, dan banyak-banyak bersyukur. Itu saja.

*Ultimo 2020
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)