Remy Sylado: Saya Ini Penulis, Bukan Tukang Ketik

0



"MINGGU kita ngopi di Bogor, yuk. Ada kopi enak di sekitar sini,” begitu pesan WA masuk di gajet saya di malam Minggu. Pengirimnya, Remy Sylado. Karena yang mengajak Remy, saya takut menolak. Paginya, hari Minggu, setelah dua jam bermobil, melintasi tol, dan melampaui kemacatean luar biasa di depan kampus IPB Dermaga, Bogor, sampailah saya di rumah yang sudah tak asing, di belakang kampus IPB Dramaga yang lokasinya: “lewat jembatan, di pinggir jurang, dan dekat masjid.”
Baru saja memarkir mobil di jalan yang hanya cukup dilintasi dua kendaraan itu, yang empunya rumah keluar. Bercelana pendek, dan berkaos hitam bergambar harimau, ia langsung mengajak saya masuk. “Wah kaosnya keren, Mas. Gambar macan,” celetuk saya. “Ya, tuh, belakangan dia sukanya pake kaos yang bergambar macan,” kata asistennya.
Nama aslinya Yapi Panda Abdiel Tambayong. Di KTP, nama yang tercantum Yapi Tambayong. Nama penanya cukup banyak. Antara lain, Jubal Anak Perang Imanuel, Juliana C. Panda Dova Zila, Alif Danya Munsyi, dan lainnya. Nama Remy Sylado diambil dari intro lagu The Beatles "And I Love Her", 2-3-7-6-1 atau re-mi-si-la-do.
Dia lahir 12 Juli 1943 di Malino, Makasar, Sulawesi Selatan, dari keluarga gereja Christian and Missionary Alliance. Ayahnya bernama Johannes Hendrik Tambajong dan ibunya Juliana Caterina Panda.
Dalam usia 74 tahun, ia tetap tegap, meski agak kurusan. Rambut dan brewoknya masih menghiasai wajahnya. Tapi tak seperti yang dibayangkan orang yang tahu dia pernah mengalami serangan stroke sampai tiga kali, Remy masih bicara lancar, dan ingatannya tetap luar biasa tajam. Hapal nama teman-teman lama, hapal lirik lagu, dan judul-judul buku. Ia masih bisa menaiki dan menuruni tangga, dengan gagah. Ia masih menulis kolom-kolom di berbagai media, masih dengan disiplin memenuhi undangan ceramah, menjadi juri atau nara sumber di berbagai pesantren, dan kampus, baik untuk urusan sastra, bahasa maupun teologi. Itu membuat seniman yang menguasai beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan Belanda ini tampak bersemangat. Dia mulai menulis ketika berumur 16 tahun. Sebagai seorang penulis, ia termasuk produktif. Puluhan novel telah ia hasilkan.
Apa novel terakhir yang Anda tulis?
Perempuan Bernama Arjuna. Seri terakhir, keenam, mengenai Sundalogi. Melengkapi lima buku yang sudah terbit. Jadi sekarang sudah terbit enam buku.
Berapa lama setiap novel itu Anda tulis?
Rata-rata sebulan. Semua novel saya yang tebalnya segede bantal itu, rata-rata saya kerjakan sebulan. Kalau risetnya bisa berbulan-bulan. Saya harus turun ke lapangan supaya apa yang saya tulis akurat.
Saya ingat, waktu menulis novel Malaikat Lereng Tidar Anda masih menggunakan mesin tulis, sekarang masih belum bisa menggunakan komputer?
Haha (Tertawa). Kalau pendek-pendek saya masih bisa tulis di gajet atau laptop. Saya suka kesel saja kalau bukan pake mesin tik, karena kalau laptop menekan tutsnya harus pelan-pelan. Saya jadi gak sabar.
Emang sudah bisa pake mouse pad ?
Hahaha. Bisalah.
Bagaimana rasanya menulis dengan mesin tulis dan komputer?
Ah, tetap enakan pake pena. Jangan lupa, karya-karya besar dulu itu ditulis dengan pena. Saya ini penulis, bukan tukang ketik.
Gimana Dapur Teater Remy Sylado (DTRS), tetap aktif?
O, jalan terus. Terakhir tahun 2017, saya pentas Sam Po Kong di Surabaya, di Ciputra Hall Performing Arts Center Surabaya. Saya ditanggap Dahlan Iskan. Jose Rizal Manua saya dapuk sebagai Raja Wikramawardhana. Dengan Dahlan Iskan itu prosesnya cepat saja. Saya ajukan proposal, tiga hari di-acc. Haha. Memang hebat orang itu. Terus di Minahasa, pementasan Drama Kolosal Riedel untuk acara Paskah Nasional di Tondano, mengisahkan masuknya Riedel dengan membawa misi penginjilan di Minahasa khususnya Tondano.
Melukis juga masih jalan?
Iyalah. Masih. Terus. Saya akan terus melukis dengan kerangka menafsir realitas. Saya melukis atas apa yang saya rasa dengan hati sebagai keindahan.
Ada yang mengatakan istilah Mbeling itu muncul sebagai kontra-istilah saja, karena sebelumnya Rendra menggaungkan Kaum Urakan?
Tidak begitu juga. Saya memang merasa istilah ‘urakan’ itu, tidak sopan. Jadi saya mengusulkan, pake ‘Mbeling; saja. Tapi kalau soal ‘Mbeling’ itu, sebetulnya sudah saya lakukan melalui pementasan teater saya. MAW Brouwer yang mengatakan begitu, lewat resensinya di Kompas. Remy itu nakal, mbeling. Jadi Mbeling itu, nakal tapi cerdas. Bukan nakal yang tidak sopan. Beda dengan urakan.
Mumpung ingat, ini penting saya tanyakan. Siapa sebetulnya perintis Puisi Mbeling yang di Majalah Aktuil. Anda atau Jeihan? Ada satu tulisan yang menyebut Jeihanlah pelopornya.
Ah, Jeihan itu ngaku-ngaku saja. Kan sudah saya bantah di depan Jeihan waktu itu. Jeihan juga diam saja. Memang bukan Jeihan, kok. Jeihan itu pelukis. Dulu jadi pelukis terkenal juga karena ditulis wartawan bernama Sondang Napitupulu, gara-gara melukis di tengah Jalan Braga. Dari situ ia mulai dikenal. Waktu itu dia belum bisa nulis. Kalau dia nulis dan saya muat di Puisi Mbeling itu juga karena saya rapikan, saya edit-edit.
Ini boleh saya kutip ya?
O, ya silakan kutip. Lha wong nyatanya begitu, kok. Boleh ditanyakan ke Jeihan. Dan itu sudah klir dan diakui. Dalam acara ulang tahun PWI tahun lalu di Padang, mereka mengakui saya sebagai pencetus Puisi Mbeling melalui majalah Aktuil.
Remy dikenal sebagai pengkritik Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam berbagai kesempatan ia mengecam penggunaan bahasa Indonesia yang salah kaprah yang kadang membuat merah kuping sebagian orang yang dikritik dan diolok-olok.
Bagaimana Anda melihat bahasa Indonesia sekarang?
Wah makin ruwet. Itu daftar kata baku yang dikeluarkan oleh pihak Pusat Bahasa, malah bikin bingung. Saya pernah mengatakan, saya tidak mau jadi tawanan frustrasi Anton M. Moeliono dan J.S. Badudu menyangkut cekokan gagasannya peri “bahasa yang baik dan benar”. Seperti yang selalu saya bilang berulang-ulang, kita sudah bebas buta huruf tetapi belum bebas membaca. Banyak orang sekarang sering mengatakan: “Pokoknya, gimana gitu... ,“ atau, “Aduh gimana ya, pokoknya gitu deh.” Aduh. Bayangkan. Mendeskripsikan perasaan saja orang sekarang tidak mampu. Orang juga suka menulis dengan kata-kata Bahasa Inggris sepotong-potong, seperti: By the way, so... so far.... Menyedihkan sekalikan.

Jadi untuk jadi sastrawan tidak bisa dibikin ya?
Meniru jadi sastrawan mungkin bisa. Tapi jadi sastrawan yang benar ya belum tentu. Orang mau meniru menjadi Remy Sylado bisa saja, tetapi dia pasti bukan Remy Sylado. Kan ada lagu yang liriknya: (Remy bersenandung) They can imitate you/ But they can’t duplicate you. Lagunya Dawn, kalau gak salah. (Remy minta asistennya mencek nama penyanyinya; yang lalu dibenarkan)
Kami melanjutkan obrolan di sebuah resto kecil di kaki bukit yang menghadap pemandangan alam yang indah. Remy pesan ikan Bawal goreng, sambal kecap, dan karedok. Minumannya ia pilih es teh tawar. Ia tampak makan dengan lahap. Sembari makan, ia menuturkan berbagai anekdot saat dirawat di rumah sakit.
Ada pantangan makan nggak?
Ah, nggak ada. Saya makan semuanya. Semuanya doyan. Kecuali Tempoyak. Aneh makanan itu. Duren kok dikasih udang.
Nasi campur masih makan?
Hahaha. Yalah. Enak itu.
Masih suka nonton film?
Masihlah. Bioskop update terus. Kalau di XXI, nonton film Hollywood. Belakangan ini senang juga nonton film Korea di Cinemax atau CGV. Film Korea itu hebat karena mampu mengemas cerita sederhana jadi seru. Dialog-dialognya matang. Banyak perenungan, nggak asal ngomong.
Remy menyeruput es kopinya yang tanpa gula. Kami melanjutkan obrolan yang ringan-ringan dan lucu-lucu, sampai senja tiba: saya dan Kurnia Effendi --yang sedari tadi mengambil gambarnya,-- mengantarkan kembali ke rumahnya. Di depan pintu pagar ia melambaikan tangan.
(Kurniawan Junaedhie)

(Ringkasan wawancara dengan Remy Sylado pernah dimuat di MAJAS)

Sumber Fb: Kurniawan Junaedhie di KOMUNITAS DARI NEGERI POCI: Wawancara Remy Sylado: Bakat itu Anugerah, Bukan Kutukan Dewata
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)