Pandaracan

Pandaracan, kalau boleh saya menggambarkan hal ikhwalnya, sejatinya adalah produk mekanisme keteraturan tubuh. Ia adalah hasil pembuangan dari ampas yang keluar melalui jalur belakang. Entah kenapa orang-orang saisuak (zaman dulu)di kampung menyebutnya pandaracan. Itu kemungkinan pertama, kemungkinan kedua dari muasal istilah ini merujuk pada sperma laki-laki, di mana pemakaian istilah ini dipakai untuk mengumpat para pria yang tukang kawin atau buat mereka yang suka selingkuh dan punya pacar gelap di mana-mana.

Akan tetapi dalam bahasa keseharian istilah ini berganti makna menjadi semacam umpatan, makian dan omelan kepada orang yang tidak bertanggung jawab atas perbuatan atau ucapannya.

Kalau seseorang yang doyan kawin, punya istri dan anak di mana-mana, maka ia akan diumpat dengan kalimat,"Sumbarang baserak-an se pandaracan mah!". Maksudnya: Bikin anak di mana-mana di sembarang tempat!

Dalam kehidupan politik di negeri ini sejak dulu pun banyak berserakan pandaracan. Anda bisa menemuinya di berita-berita surat kabar, di televisi dan mungkin di corong pendemo. Tak ada salahnya menyebut semua kebijakan, aturan, undang-undang, kepres, permen, peraturan camat atau peraturan nagari sebagai pandaracan, apabila dalam kenyataannya, semua produk peraturan tersebut dibikin setiap hari namun persoalan pelaksanaannya atau setidak-tidaknya law enforcemet-nya jalan atau tidak bukan menjadi soal.

Boleh jadi semua kebijakan gubernur yang membuka peluang dan memberi izin berdirinya mall-mall, hiper market atau pasar swalayan milik konglomerat itu adalah juga semacam pandaracan. Berserakan di mana-mana tetapi kemudian sang pemberi izin tidak bertanggung jawab mengelola semua aspek yang ditimbulkan oleh pemberian izin tersebut. Anda boleh rasakan akibatnya; kemacetan, salah satunya diakibatkan oleh banyaknya mall megah yang pengunjungnya didominasi oleh orang-orang berada yang datang ke mall dengan mobil masing-masing.

Menjamurnya mall sehingga mengepung pasar-pasar tradisional menyebabkan para pedagang di pasar tradisional jadi lesu darah karena sepi pengunjung. Mall-mall yang tumplek blek di ibukota tersebut tentu saja menjadi salah satu penyebab banjir lantaran berkurangnya daerah resapan air. Semuanya akibat penguasa menyerakkan pandaracannya tanpa berhitung untung rugi, tanpa memperhitungkan dampak sosial-ekonomi-budaya bagi masa depan masyarakat.

Pandaracan mungkin muncul juga di televisi di mana semua produk yang ditayangkan menjadi pandaracan bagi masyarakat, sementara pengelola televisi hanya menyembah satu tuhan: rating.(be continued)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama