Turnamen Anak-Anak Kedai Kopi (2)

0



Tukang Ota: Oce Satria

KENAPA orang baru - terutama perempuan - selalu terlihat memikat? Seperti magnet, mengisap kutub rasa terindah di kepala lelaki. Seperti madat, membius kesadaran, lalu lunglai lena diayun angan.

Serupa itulah aura yang ditebar gadis Bandung itu. Padahal, sebelum Tuhan mengirimnya ke sini, kampung kami pun sudah memiliki deretan gadis-gadis memesona yang selama ini jadi rasian malam-malam lelaki tanggung. Mereka jadi gosip kami di palanta kedai kopi. Menggunjingkan pesona yang mereka tebar saat mereka pulang mandi dari pancuran. Kadang romantisme merebak, kadang syahwat menjadi liar di kepala, melihat mereka menggendong cucian dengan rambut basah.

Bolehlah kuceritakan satu dua di antara mereka. 

Sebut saja Sania, yang tinggal tak jauh dari kedai kopi. Ia gadis dengan profil paripurna. Matanya belok. Wajahnya serupa bulan menjelang empat belas. Dan ujung bibirnya serupa dua pedang: menggetarkan.

Usianya sekitar enam semester di bawah kami. Aku selalu terpikat pesonanya setiap kali ia berangkat sekolah menuju jalan besar menunggu oplet. Persis ketika ia melintas di depan kedai kopi tak lupa aku mengirim senyum padanya. Ia membalas ala kadarnya, malu-malu. Selalu begitu.

Ia memikat benar. Wajahnya menyalin rupa Ria Rezty Fauzi, yang lagunya 'Ranjau Ranjau Cinta' selalu diputar stasiun radio AM. Cantik, dan sepintas terlesan judes. Tapi ia tidak judes. 

Pernah sekali waktu aku seoplet dengan Sania saat ia pulang sekolah. Waktu itu aku menghabiskan siang di  tempat penyewaan komik. 

Apa yang terjadi selama lima belas menit aku duduk persis di sampingnya? Tidak ada.

Padahal desakan dari dalam ingin sekali mengajaknya ngobrol. Dan kalau itu terjadi, tak terkira jumawanya aku mengisahkannya pada bujang-bujang lapuk di kedai kopi.

Jangankan mengobrol, sepatah basa-basi pun tidak. Bibirku terkunci saja dan kecuali hanya bisa  senyum-senyum tiap sebentar saat kami bersitatap. Aku macam orang tolol saja. 

Aku tak paham psikologinya. Apa yang diinginkan seorang perempuan saat berada di samping lelaki seperti aku? Akun awam tabiat perempuan.

Bertahun-tahun kemudian baru kutahu penyebabnya kenapa lidahku kelu dan jantungku kecut saat berada di sanping perempuan semanis Sania. Artikel psikologi di majalah remaja menyebut, pada kasus seperti yang kualami yang terjadi adalah perang ego dan inferiority complex dalam situasi tak terkendali. Simpelnya: nafsu besar nyali kecil.

Beruntung, pada titik di mana keberanian muncul aku mengajukan proposal pada Sania. 

Face to face? Tidak.

Aku menulis panjang lebar di empat lembar kertas surat warna biru muda dengan siluet camar dan laut. Bukan karena sengaja kupilih kertas biru bersiluet seperti itu, tapi memang hanya itulah stok yang ada di toko Tek Ros. Itupun aku diciee-ciee kan Tek Ros sambil cekikikan. Tentu saja wajahku merah padam.

Tapi surat biru bersiluet camar dan laut itu akhirnya tak jelas nasibnya. Entah dibaca entah dilungsurkan ke tong sampah. Sania diterima di kampus terkenal di Semarang. 

Cintaku bukan saja tak berbalas, tapi tak jelas. Kandas. Sania lesap bersama masa depannya yang cemerlang. Empat tahun bukan waktu yang lama sekadar menandingi foto wisudaku.

Tapi tentu ia sudah punya peta jalan sendiri. Dengan lelaki lain, pasti.

Aku lunglai.
Anak-anak kedai kopi ngakak sejadi-jadinya.

Bangsat!

[ilustrasi:ketempatan.com]
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)