Turnamen Anak-Anak Kedai Kopi (3)

0



Tukang Ota: Oce Satria



SELASA, 15 September tahun itu, 16.25.00 WIB. 

INI mesin tik bekas. Lungsuran dari kakakku empat tahun silam. Aku menerimanya dengan kondisi seadanya: tanpa penutup. Maklum, mesin tik reporter. Sejak kakakku ditarik jadi redaktur, mesin tik tentu jadi kehilangan tugas, digantikan komputer kantor. 

Meski lungsuran, bekas tentu, namun bagiku ini sebuah kemewahan dan hadiah istimewa. 

Sejak mesin tik ini berpindah ke tanganku, aku makin keranjingan menulis. Menulis apa saja. Aku menulis puisi, cerita pendek, menulis artikel sosial dan politik karena aku pembaca majalah Tempo, Forum dan majalah-majalah Panjimas, Kiblat, Intisari sisa tahun 60an warisan kakek. Sesekali menulis esai setelah membaca belasan majalah sastra Horison, juga lungsuran dari kakakku yang wartawan itu.

Sekali waktu, karena iseng, aku menulis semisal stensilan. Bukan rahasia lagi, stensilan saat itu bukan barang aneh, meski beredar dalam jaringan gelap. Di terminal-terminal ia ditawarkan oleh penjual TTS asongan. 

Aku iseng menulisnya. Tapi hanya beberapa paragraf yang ceritanya belum sampai pada deskripsi jorok. Baru romantisme artifisial. HVS kurengggut dari roll. Bukan apa-apa, tapi tetiba aku jadi ketakutan. Kepikiran, stensilan itu mau diberikan ke siapa. Ke teman-teman? Bagaimana kalau teman-temanku nanti malah ketagihan dan terus-terusan minta? Gila! 

Maka, tuts-tuts mesin tik usang itu lebih banyak melahirkan puisi-puisi. 

Salah satu puisi kutulis khusus untuk cewek Bandung itu. Tidak terlalu panjang. Tapi cukup membuatku kelimpasingan demi menghasilkan puisi yang komplit: bermutu sastra, puitis, dengan bau-bau romantisme, menyiratkan hasrat cinta yang dalam, melukiskan perasaan yang hampa dan mendamba, sejumput pujian, menawarkan harapan (hahh!!!), dan imajinatif. Tak lupa kuselipkan pesan-pesan ilahiah sebagai prasyarat bahwa aku adalah lelaki alim.

Setelah belasan kertas HVS jadi korban, akhirnya puisi untuk cewek Bandung itu kholas. Ini dia.

SAJAK PENDAMBA

Pendaki tersengal di belukar
dan akar akar pepohon yang menjalar,
demi membasuhkan mimpi di Telaga Dewi.

Singgalang berkabut, 
tapi peluh tak peduli pada gemeretak gigil.

Sang pendaki terengah, tengadah pada langit: "masihkah panjang pendakian ini..?"

Di puncaknya, telaga meriakkan air, 
ketika angin menyentuhkan getar,
dingin menyerupa hangat, cipratan menyerupa keringat,
Hmmmm....
malampun salah tingkah,
mengintip percintaan telaga dan angin,
berkalang desah dan jerit menyeruak kelam

Bulan menjerit ketika bersimbah bulir bulir cahaya,
bintang baru saja mengantarkan intro nyanyian rahasia.

Bulan tersipu malu, 
mengerling menggoda,
Bintang mengajaknya tamasya langit,
menjemput izin dari Rabb-nya, Sang Maha Pemilik Cinta

*

Ketika puisi itu kupresentasikan di kedai kopi,  sontak teman-temanku termangu, terpaku, gugup, seolah tersedot dalam puitisme dan romantisme lirik-lirik yang kudeklamasikan. 

Yess.....mereka mati kutu, mati langkah, kalah kelas, dan pasti akan mengangkat serbet putih.  Mundur dari turnamen.

"Ha...haaa... haaaa...!!!""
"Haa...haaa.... haaaaa....!!!"
"Haa.... haaaa.... haaaaa....!!!

Tetiba mereka ngakak sejadi-jadinya. Anto memegang perutnya sambil beteriak.

"Dasar Eni Arau.....!!!!"

Aku lemas. 

Ternyata interpretasi anak-anak kedai kopi berbeda dari apa yang kumaui. Ahh, dasar, mereka saja yang tolol. Mereka tak paham sastra. Mereka artifisial. Cecunguk-cecunguk itu hanya paham yang tersurat, lalu menuduh puisiku jorok! Pasti begitu.

Tapi, diam-diam aku dirundung bimbang juga. Ya, bagaimana jika cewek Bandung itu nanti juga punya tafsiran yang sama dengan anak-anak kedai kopi setelah membaca puisiku? Puisi jorok!

"Puitis sih, tapi najis...!!!"

Coba, gimana kalau nanti dia bilang begitu.? 

Mampus aku! (*)



[ilustrasi:ketempatan.com]
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)