Turnamen Anak-Anak Kedai Kopi (1)

0




Tukang Ota: Oce Satria

ADA suatu masa, di mana aku dan beberapa pria konyol yang suka berlagak paling yahud, ditipu mentah-mentah oleh kilas sudut mata bening perempuan berpinggang ramping itu.

Mula-mula aku yang maju. Berlagak santing, melipat tangan di dada, menyelipkan korek api bekas di sela bibir. Tak peduli, padahal sudah merapung gelang-gelang di perut, bercericit saja cacing tanpa bisa kukendalikan.

Dia, si manis bermata jernih itu terlihat di ujung jalan......

Benarlah cerita yang dishare Hermansyah di grup anak-anak kedai kopi Tek Mia, bahwa perempuan yang baru datang itu adalah perempuan yang tiba-tiba menghanguskan semua gambar gadis-gadis paling cantik sekalipun di kampung kami. Mereka hilang pasaran. 

Ia dipastikan masih gadis. Karena sejak kemunculannya di kampung ini, belum sekali pun terlihat ada laki-laki bersamanya. Selain itu, Darudin pun menegaskan dugaan itu. Soal gadis atau sudah menikah, pengetahuan itu memang milik Darudin. Ia paling jago menebak. Ia mahir membedakan mana nona mana nyonya. Konon dari ciri-ciri bentuk pinggul, dada, bibir, dan segala macam atribut anatomi yang ia sebut sebagai body language. Entah dari mana ia dapat istilah itu.

"Dari cara gerimit bibirnya, bisa kutebak, ia sudah beberapa kali bersalin ke rumah bidan," bualnya tempo hari, waktu kampung kami dapat kunjungan Camat yang baru. Darudin langsung tahu bahwa istri pak Camat yang molek itu sudah punya empat anak. Dan itu terbukti saat Pak Camat berpidato. Kepada khalayak sembari mengenalkan diri, termasuk istrinya, ia berkata bahwa dirinya baru ikut KB setelah terlanjur punya 4 anak.  Aneh juga Pak Camat kami tersebut, tak sungkan mengaku tak ikut program nasional pemerintah itu.

"Tapi jangan ditiru, ya!" pintasnya disambut gelak berderai hadirin.

Begitulah Darudin. Pandai menerka orang berdasarkan ilmu body language.

Lalu soal gadis baru di kampung kami yang belum kami tahu namanya itu, telah membuat kami merasa mendapat peluang baru, tapi juga tantangan berat. Jalan pikiran kami, para lelaki kedai kopi, sama. Gadis baru itu harus bisa ditaklukkan.

Tapi bagaimana cara menaklukkannya? Sementara saban hari ia hanya lalu lalang begitu saja, hilir mudik langsir dari ujung kampung ke sudut lainnya. Macam sedang melakukan riset saja. Ia terlihat tidak begitu open dengan keberadaan kami, para pria kedai kopi. Sehingga sampai kini kami belum mendapatkan informasi perihal biodatanya. 

Sampai kemudian, Thomas alias Anto Masnawi, teman kami, menyampaikan informasi terbaru. Ia menyebut, gadis itu ternyata asli orang kampung ini. Ia lahir dan besar di Bandung. Karena papa dan mamanya merantau ke sana, belasan tahun silam. Papanya adalah anak Mak Cian, orang Panyalai yang berumah di baruh, dan istrinya, mama si gadis itu, adalah anak Mak Palindih, orang Koto. 

Hmmm....cewek Bandung.

"Mereka pulang habis. Usaha mereka bangkrut di sana," lapor Thomas.

"Sahih tu?" kami menyelidik.

"Sahihlah," seringainya.

Tapi, apapun latar belakang kepulangan keluarga gadis itu, sebenarnya kami tidak terlalu peduli. Dia, gadis itu, cewek Bandung. Bukankah istilah itu --cewek bandung-- sudah menjadi buah handai kami sejak dulu. Itu semacam sertifikat pada batu akik, pertanda batu akik mahal, dan karenanya jadi rebutan.

Jadi, saat itu kami sedang berada pada liga memperebutkan sertifikat: cewek Bandung. 

Mulailah aku menyusun strategi, berhitung-hitung peluang. Berat sebenarnya. Karena pesaingku punya kartu coki masing-masing. Darudin, gagah dan ayah mandenya toke sayur Padangluar-Batam. Thomas, macho, meski tak bisa dibilang anak orang berada tapi dunsanak familinya bertebaran di Tanah Abang. Zaini jangan disebut lagi, ia cowok putih bersih, sisir ranbutnya belah pinggir dan rapi. Ia mungkin bisa diumpamakan dengan pria metroseksual di majalah-majalah populer. 

Dan aku, meski tak gagah-gagah benar, rambut semrawut, tidak segempal mereka-mereka, tapi aku tetap percaya diri. Aku punya apa yang kawan-kawanku tak memiliki. Hmmmm...., sudah di bibir tepi cawan rasanya. Si cewek Bandung itu akan menjadi pomle-ku. Amboiii....

[ilustrasi: ketempatan.com]

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)